Friend

Aneh sekali di negeri saya. Friend. Teman, kawan, sahabat. Ada tiga arti untuk satu kata itu. Tapi kali ini saya tidak sedang merangkai kata untuk menelaah satu per satu dari ketiga kata itu. Hanya saja hari ini saya memikirkan dengan seksama penggunaan kata-kata itu didalam kehidupan saya. Entahlah apakah diluar sana ada yang berpikir, merasa dan berperilaku sebagai kata-kata itu untuk saya. Bagi saya setelah merenungkannya untuk yang kesekian kali, saya tidak memiliki satu pun. Bahkan ketika saya berpikir, merasa dan berperilaku seolah-olah memilikinya. Tetap saja itu adalah kepura-puraan. Saya tidak memiliki satu pun. Pertanyaan berikutnya adalah kenapa. Manusia senang sekali mencari alasan. Alasan yang ditujukan untuk pembenaran dari harapan. Tidak terkecuali saya. Perenungan panjang yang saya lakukan menghasilkan beberapa logika yang mungkin bisa dijadikan alasan. Tapi bukan alasan final. Saya hanya mencari-cari kemungkinan alasan yang dapat membenarkan jawaban sebelumnya. Karena belum ada jawaban pasti untuk pertanyaan kenapa, maka tidak ada pertanyaan berikutnya. Nalar saya hanya berhenti di dua pertanyaan saja, apakah ada dan mengapa.

Saya tidak memiliki satu pun dari mereka. Baik itu teman, kawan, atau sahabat. Mungkin tidak apa-apa. Karena saya cukup menikmati aktivitas yang dilakukan sendiri. Mungkin tidak apa-apa karena saya sering merasa terganggu dengan kehadiran manusia yang lain. Mungkin tidak apa-apa karena saya hanya akan menyerah pada kegiatan yang tidak bisa saya lakukan sendiri. Tidak kah saya terlihat menyedihkan?

Apa ketidakpunyaan saya yang membuat saya tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi disini ataukah keinginan saya yang menyebabkan saya tidak punya. Saya tidak begitu yakin antara kedua hal itu. Sama tidak yakinnya seperti jawaban untuk duluan mana telur dengan ayam. Mungkin ketidakpastian alasan yang membuat puzzlenya belum lengkap. Mungkin juga tidak akan lengkap. Saya meninggalkan banyak pertanyaan kehidupan yang belum selesai. Karena tidak adanya jawaban yang jelas untuk pertanyaan mengapa. Itu membuat saya terlalu banyak berpikir. Itu membuat saya tidak menikmati kehidupan sebagai manusia normal yang senang bersosialisasi. Itu membuat saya menginginkan untuk berdamai dengan Tuhan. Tapi apakah saya diizinkan untuk melakukannya? Cukup lama saya menunggu dan belum mendapatkannya. Itu tidak membuat saya puas. Tapi saya juga tidak terlalu sedih dengan itu. Saya hanya lelah.

Yogyakarta, 02 Mei 2014

 

Bukan kota ini yang membuat saya tak bersemangat, saya memasuki kota ini memang tanpa semangat. Bukan kota ini yang membuat saya lelah. Saya sudah cukup lelah saat memasuki kota ini. Bukan kota ini yang menghancurkan semua impian saya. Saya memang tak bermimpi apa-apa saat memasuki kota ini. Bukan kota ini yang tidak bisa saya taklukkan. Diri saya sendiri yang menjadi musuh terbesar saya.

 

Tinggalkan komentar